
Jakarta, 7 Juli 2025 — Di tengah era hiper-digital dan banjir konten, muncul tren gaya hidup baru yang digandrungi terutama oleh kalangan muda urban: digital slow living. Gaya hidup ini mendorong individu untuk mengurangi paparan digital secara sadar, menata ulang rutinitas agar lebih lambat, bermakna, dan berfokus pada keseimbangan mental.
Tagar #DigitalSlowLiving, #HidupPelanPelan, dan #MindfulOffline kini ramai di Instagram dan TikTok, menandai kebangkitan gaya hidup “melambat secara digital” di tengah budaya serba instan.
Apa Itu Digital Slow Living?
Berbeda dengan sekadar digital detox, digital slow living adalah pendekatan komprehensif dan konsisten dalam menjalani kehidupan digital secara sadar. Ciri-cirinya antara lain:
-
Menghapus aplikasi yang bersifat doomscrolling
-
Membatasi penggunaan ponsel maksimal 2 jam per hari
-
Hanya membuka media sosial 3 kali dalam seminggu
-
Mengganti waktu online dengan kegiatan seperti membaca, menulis jurnal, merawat tanaman, atau berjalan kaki tanpa earphone
-
Menggunakan ponsel jadul hanya untuk telepon dan SMS
Alasan di Balik Popularitas Tren Ini
Banyak Gen Z dan milenial muda mulai merasakan kelelahan digital — dari FOMO (fear of missing out), gangguan konsentrasi, hingga insomnia karena overexposure layar.
Psikolog digital dari UI, Dr. Meutia Anindya, mengatakan:
“Bukan hanya burnout kerja, sekarang banyak yang mengalami burnout digital. Tubuh duduk, tapi pikirannya terus ‘scrolling’.”
Survei dari Kominfo pada Mei 2025 menyebutkan bahwa 63% responden usia 18–29 tahun merasa hidupnya ‘terjebak di ponsel’ dan ingin kembali terkoneksi dengan dunia nyata.
Gaya Hidup atau Gaya Bertahan?
Fenomena ini memunculkan komunitas-komunitas baru seperti:
-
Klub Baca Offline di perpustakaan umum
-
Silent Cafe Movement, di mana pengunjung tidak diperbolehkan menggunakan ponsel
-
Digital-Free Retreat di Ubud, Lembang, dan Batu
-
“Jam Kuno Club”, komunitas pemuda pengguna jam tangan analog dan ponsel lipat
Beberapa brand lifestyle lokal seperti Matoa, Buku Tulis Nusa, hingga Green Steps ikut merespons tren ini dengan memproduksi jurnal fisik, kamera analog, dan tas kulit berdesain “non-digital.”
Kritik dan Perspektif
Meski banyak yang memuji tren ini, beberapa pihak menilai digital slow living masih bersifat kelas menengah ke atas, karena membutuhkan privilege waktu dan akses tertentu.
Namun pendukungnya menegaskan bahwa ini bukan gaya hidup elit, melainkan respon manusiawi atas kejenuhan mental kolektif.
Kesimpulan
Digital slow living adalah seruan sunyi di tengah bisingnya dunia maya — bahwa manusia tetap membutuhkan ruang untuk berhenti, berpikir, dan hadir sepenuhnya dalam kehidupan nyata.
Karena pada akhirnya, bukan sinyal atau kuota yang membuat hidup penuh — tapi kehadiran yang sungguh-sungguh.